Selasa, 16 Desember 2014

Menjadi Pengacara/Advokat Sukses

Semua orang bisa menjadi advokat, selama memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Apakah syarat-syaratnya?


Dalam Pasal 3 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, disebutkan :

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

     a. warga negara Republik Indonesia;

     b. bertempat tinggal di Indonesia;

     c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;

     d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;

     e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud

         dalam Pasal 2 ayat (1);

      f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;

     g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;

     h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana

         penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

      i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.

(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

     menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan

     yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

(lihat juga : RAHASIA LULUS UJIAN ADVOKAT )

Berikut saya uraikan secara singkat tahap-tahapan cara sukses menjadi advokat:



 yaitu dari  Fakultas Hukum; Fakultas Syariah; Perguruan Tinggi Hukum Militer; atau  Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. (lihat penjelasan Pasal 2 ayat [1] UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat) yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. (lihat Pasal 2 ayat [1] UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat).Apabila peserta telah mengikuti PKPA sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas, maka yang bersangkutan akan diberikan sertifikat oleh penyelenggara PKPA (lihat Pasal 11 Peraturan Peradi No. 3 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat).LULUS UJIAN PROFESI ADVOKAT (UPA) yang dilaksanakan oleh organisasi advokat. Dalam UPA yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (“Peradi”) ditentukan bahwa yang dapat mengikuti UPA adalah pihak-pihak yang telah mengikuti PKPA yang diselenggarakan perguruan tinggi atau institusi lain yang mendapat persetujuan dari PERADI. Peserta yang lulus UPA akan menerima sertifikat lulus UPA dari organisasi advokat. sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat. Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, yang penting adalah magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun (lihat Pasal 3 ayat [1] huruf g UU Advokat). Peradi akan mengeluarkan Izin Sementara Praktik Advokat segera setelah diterimanya Laporan Penerimaan Calon Advokat Magang dari Kantor Advokat (lihat Pasal 7A Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat).PENGANGKATAN DAN SUMPAH ADVOKAT. Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. (lihat Pasal 3 ayat [2]  UU Advokat). Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. (lihat Pasal 4 ayat [1]  UU Advokat).Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut :


“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:

-          bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;

-          bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;

-          bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;

-          bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;

-          bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;

-          bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.

Toga advokat
Saat mengucapkan sumpah/janji advokat di sidang terbuka Pengadilan
Tinggi, advokat wajib mengenakan toga advokat. Toga advokat adalah
berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.07.UM.01.06 Tahun 1983 Tanggal: 16 Desember 1983.

Menjadi anggota organisasi advokat
Menurut Pasal 30 ayat (2) UU Advokat, setiap advokat yang diangkat
berdasarkan UU Advokat wajib menjadi anggota Organisasi Advokat. seperti
diketahui pengangkatan advokatdilakukan oleh Organisasi Advokat (lihat
Pasal 2 ayat (2) UU Advokat).

Buku daftar anggota dan kartu advokat
Nama advokat yang menjadi anggota Organisasi Advokat dicantumkan dalam
Buku Daftar Anggota. Di dalam Buku Daftar Anggota dicantumkan pula
nomor induk/keanggotaan advokat pada Organisasi Advokat.

Tanda keanggotaan pada Organisasi Advokat juga ditunjukkan dengan kartu
tanda pengenal advokat yang mencantumkan nomor induk/keanggotaan
advokat. Dalam menjalankan tugas profesinya sehari-hari, kartu tanda
pengenal advokat harus selalu dibawa oleh advokat sebagai bagian dari
identitas diri dan profesional advokat.

Sumber :

1.      Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

2.      Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat

3.      Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No. 2 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat

4.      Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No. 3 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat

5.      Petunjuk Teknis Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat



Senin, 15 Desember 2014

Alas Hak Adalah merupakan alat bukti dasar seseorang dalam membuktikan hubungan hukum antara dirinya dengan hak yang melekat atas tanah. Oleh karenamya sebuah alas hak harus mampu memjabarkan kaitan hukum antara subjek hak ( individu atau badan hukum) demgan suatu objek hak (satu atau beberapa bidang tanah) yang ia kuasai.artinya dalam sebuah alas hak sudah seharusnya dapat menceritakan secara lugas, jelas dan tegas tentang detail kronolpgis bagaimana seseorang dapat menguasai suatu bidang tanah sehingga jelas riwayat atas kepemilikan terhadap tanah tersebut.

Alas hak bentuknya bermacam macam, dalam hal ini penulis ingin mempersempit pokok pembahasan mengenai alas hak yang di maksud dengan menelaah alas hak dalam konteks pendaftaran tanah pertama kali khususnya alas hak terhadap tanah tanah negara yang akan dimohonkan penerbitan hak miliknya.

Tanah Negara dan Pemberian Hak.

Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak atas tanah (Vide,BAB l, ketentuan umum pasal 1PP.24tahun 1997), dimana tanah Hak adalahtanah yang telah dipunyai suatu hak atas tanah(Vide,BAB1 ketentuan umum pasal’1 PMNA/KA.BPN NO 9 tahun 1999). Jika melihat definisi ini maka sudah sangat jelasl bahwa status tanah negara yang belum terdaftar haknya pada Kantor Badan Pertanahan Nasional’ Kabupaten/kota tidak sama seperti status tanah tanah yang sudah melekat dan diakui hak diatasnya seperti Hak atas Ulayat, Tanah Marga /Kaum,Eigendom dan lain sebagainya. Dalam menentukan suatu bidang tanah merupakan tanah negara atau bukan juga’harus diatur dalam suatu peraturan perundang undangan.

Dalam konteks pendaftaran tanah pertama kali/proses penerbitan sertifikatHak milik atas tanah yang berasal dari tanah tanah negara baik yang dilakukan secara sistematis(terprogram) maupun sporadis (Inisiatif personal), maka. Prosedur pelaksanaannya dilakukan dengan carea pemberian Hak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 9 tahun 1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan Hak atas Tanah Negara dan pengelolaan.

Selanjutnya pada pasal 9 ayat2, pada angka 2hurup(a) PMNA/ka BPN no 9 tahun 1999, secara gamblang menyebutkan , bahwa salah satu persyaratan dapat di prosesnya permohonam Hak milik atas tanah adalah dengan menyertakan alas hak swbagai bukti penguasaan, baik yang berupa sertifikat, girik, surat kapling, surat surat bukti pelepasan Hak dan pelunasan Tanah dan rumah dan atau yang telah di beli dari pemerintah, putusan pengadilan, atau PPAT, akta pelepasan Hak, dan surat surat bukti perolehan tanah lainnya.

Naifnya, kenyataan yang banyak terjadi di beberapa Daerah Kabupaten/Kota khususnya pada level pemerintahan desa/Kelurahan yang tidak begitu memahami atau bahkan memyepelekan persoalan atas hak sebagaimana di sebutkan di atas, terlebih terhadap tanah tanah negara yang belum terdaftar haknya di kamtor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota. Tidak sedikit produk pemeeintahan Desa/lurah berupa alas hak atas tamah yamg terlihat terbalut rapi dengan Titel sampul surat keterangan tanah(SKT) ,namun tidak serapi isi nya. Lebih jauh dari itu, SkT ,malah justtru menjadi momok yang ,menakutkan, bahkan kerap dianggap menjadi bom wakru yang kapan saja bisa ,memunculkan ledakan permasalahan sengketa tanah di pengadilan, betapa tidak begitu banyak perkara sengketa kepemilikan tanah yang di sidangkan hanya karena begitu mudahnya kepala Desa/Lurah menerbitkan sebuah SKT tanpa di’barengi dengan tertib administrasi atas SKT yang telah di terbitkan di desa/lurah tersebu

Apakah SKT sebuah Alas Hak??

Lalu muncul pertanyaan, apakah SKT merupakan Alas’Hak????
Jawaban untuk itu belum tentu,
Sebab ‘ seperti yang sudah di jelaskan di awal, bahwa yang dimaksud alas hak harusnya  mampu menjelaskan secara detail tentang kronologis riwayat kepemilikan tanah secara ber urut sampai pada pemegang kepemilikan tanah yang terakhir. Aspek  hubungan hukum dari sebuah perbuatan hukum antara subjek hak dengan objek tidak boleh terputus dan harus saling bertalian riwayat kepemilikannya antara pemilik awal dengan pemilik selanjutnya. Jika unsur unsur tersebut terpenuhi ,maka SKT tersebut dapat di kategorikan sebagai salah satu alas hak.

Berdasarkan analisis dan pantauan penulis, di beberapa daerah  di luar pulau jawa,terutama di pulau sumatera yang banyak menunjuk starus tanah di wilayahnya sebagai tanah negara, khususnua di wilayah sumbagsel( Palembang, lampung, jambi dan bengkulu) terjadi penafsiran yang beragam tenyang SKT. Bentuk dan format penulisannya pun berbeda beda, lain halnya di Sumatera barat(Sumbar), Nanggroe Aceh Darussalam(NAD) dan Riau yang notabeme banyak memiliki wilayah yanah hak’Adat,juga memiliki penafsiran atau bahkan sebutan tersendiri unrik aurat surat tanah yang di terbirkan olah instansi pemerintah Daerahnya ,masing masing. jika di Sumatera utara(Sumut), Skt itu di kenal sebutan Surat Keterangan Camat(SK Camat), jika di NAD, SKT dikenal sebagai surat keteramgan Keucik(Kepala Desa) , demikian halnya demgan yang terjadi di Sumatera Barat(Sumbar) dan propinsi lainnya.
Apapun penafsirannya, yang jelas SKT pada prinsipnya di terbitkan untuk menerangkan kepemilikan tanah negara, meski pada kenyataannya malah justru banyak SKT yang memburamkan riwayat atas kepemilikan tanah.

Terpenggal=
Pemerintah Desa/Kelurahan adalah satuan pemerintahan terkecil dalam struktur ketatanegaraan di negara Republik Indonesia. Dalam prespektik Hukum Administrasi Negara, Pemerintahan Desa/Kelurahan memiliki peranan yang cukup besar dalam mengatur ketatausahaan pemerintahannya dan mempunyai efek fital terhadap  kelangsungan Administrasi pemerintahan di atasnya ( yaitu pemerintah kecamatan, Kabupaten/,  kota,Propinsi dan seterusnya). Namun tampaknya peranan ini belum begitu berjalan mulus dalam hal penyusunan Administrasi Pertanahan di masing masing wilayah Desa/Kelurahan dimaksud.

Banyak studi kasus yang menyimpulkan bahwa khusus dalam penerbitan Administrasi pertanahan di Desa/Kelurahan yang centang prenang menjadi alasan utama terhadap ketidak mampuan Desa /Kelurahan dalam menyuajikan data Administrasi pertanahan secara valid, baik dalam hal kejelasan batas Desa, jumlah tanah tanah yang telah bersertifikat ,apalagi data kepemilikan tanah yang belum bersertifikat. Alhasil  sengketa batas, perebutan lahan dan tumpang tindih kepemilikan menjadi isu aktual yang menjadi kericuhan terhadap carut marutnya sistem administsrasi pertanahan di indonesia.

Disisi lain minimnya pemahaman kepala Desa/lurah dalam memahami betapa pentingnya riwayat kepemilikan atas bidAng tanah dalam menerbitkan suatu alas hak, juga turut memperburuk keadaan. Banyak terjadi di lapangan, Kepala Desa/ Lurah yang memenggal riwayat kepemilikan tanah dalam menerbitkan SKT dan sudah barang tentu, produk alas hak yang bakal ia terbitkan juga akan memburamkan kronologis riwayat tanah dimaksud.

Faktor penyebab terpenggalnya riwayat tanah yang kerap di temui dilapangan di sebabkan ada dua alasan :

Peryama : unsur kesengajaan dari oknum Kepala Desa/Lutah yang mungkin karena ketidak tahuannya dengan senhaja menarik bukti bukti perolehan yanah lama yang yelah dimiliki warganya, dan dengan mudah menggantinya  dengan surat surat yang baru berupa SKT dan mengabaikan  riwayat tanah uang tercantum dalam surat surat bukti perolehan tanah yang lama.
Hal demikian pada umumnya dilakukan Sang Oknum Kepala Desa/Lurah dalam mengikuti Program Pendaftaran tanah pertama kali secata sistematik ,misal (program PRONA) dengan tujuan pemungutan biaya atas SKT baru yang di terbitkan.

Ke dua :
Minimnya pemahaman aparatur Desa/lurah menyangkut Administrasi surat surat tanah, contohnya dalam hal peralihan kepemilikan tanah tanah yang belum bersertifikat (masih SKT) apakah katena ganti rugi, pemberian ayau hibah, fan lain sebagainya , baik sebahagian  maupun keselurihan yang kemudian selali di terbitkan SKT baru atas tanah untuk di berikan kepada pemilik baru, dan menarik SKT lama dari tangan pemilik yanah yang sebelumnya, semestinya tidaklah harus demikian.

Idealnya Sebuah Alas Hak

SKT, SK Camat, surat keteranganKeuchik atau apapun sebutannya ,seharusnya mendapat perlakuan yang sama selauaknya sebuah sertifikat hak yang diterbitkan oleh BPN, SKT di terbitkan hanya sekali selamanya dan Desa/Kelurahan menyimpan Arsipnya dalam bundel Buku Desa. Sehingha bila mana terjadi kerisakan atau kehilangan atas SKT tersebut dapat dengan mudah di terbitkan SKT pengganti dengan data yang serupa. Dan bilamana terjadi perubahan data ayas SKT dimaksud, bukan dilakukan dengan cara menerbitkan SKT dengan nomor register Desa yang baru pula, melainkan diterbitkan surat pem,indahan pemguasaan tanah atas peralihan sebagian maupun secara keseluruhan atas SKT sebelumnya.

Dalam Stanfard Operasional Prosedur pelayanan Pertsnahan (SOP PP) Kantor Pertsnahan Kabipaten/Kota atau yang sekarang  lebih akrab dikenal dengan SOP menyebutkan bahwa alas hak sekurang kurangnya terdiri dari ” Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah ”  yang di tanfatangani di ayas materai  oleh Subjek Hak dengan memuat berbagai keterangan mengenai tanahnya meliputi :
Data dari pemilik , Letak batas dan luasnya, Jemis tanah yang dikuasai(pertanian/ non pertanian), Rencana penggunaan Tanah, Status Tanahnya( Tanah Hak Atau tanah negara) dan Item yang paling penting afalah keterangan mengenai Riiwayat Kepemilikan dan Dasar Perolehan Tanah dimaksud secara beruntun kemudian di tanda tangani
Idua(2) orang saksi dan di ketahui oleh kepala Desaa / Lurah dimana objek tsnah tersebut berada.

Namun idealnya lagi, surat perrnyataan diatas dipertegas lebih lanjut dengan surst keyerangan Tanah oleh Kepala Desa/Lurah, yag isinya menguatkan Lehal Statement dari apa yang terangkum didalam sebuah surat pernyataan penguasaan fisik bidang Tanah sebagaimana dimjelaskam di aras, kemudian jika terjadi perunahan senagian atau seliruh data pemilik ,karena sebab sebab peralihan( apakah karena hanti rugi,, hinah, pemnerian dan laim sebagainya) dari pemilik yang lama kepada pemilik yang baru, maka pemerintah Desa/Lurah harus mengarahkan pihak pihak yang berkepentingan  ,Agar    membuat :

“SURAT PEMINDAHAN PENGUASAAN TANAH YANG ISINYA KURANG LEBIH MENCERITAKAN SEBAB SEBAB PERALIHAN HAK DAN KEWAJIBAN HAK ATAS TANAH DI MAKSUD. DIANTARA PIHAK PIHAK YANG BERKEPENTINGAN , DI BUBUHI TANDA TANGAN DI ATAS MATERAI SECUKUPNYA DI KETAHUI DUA ORANG SAKSI DAN DITANDA TANGANI OLEH KEPALA DESA /LURAH.

Penutup

Dari keseluruhan daya uang dipaparkan di atas,maka senaiknya surat surat bukti perolehan tersebut di bundel menjadi satu kesatuan Alas hak yang siap untuk di daftarkan Haknya ke kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, dan perlu di ingat agar pihak Fesa/Kelurahan supaya memiliki Asip atas surat surat tanah dimaksud , sehingga perlahan tapi pasti hal demikian akan ber egek positif dalam peningkatan tertib administrasi Pertanahan ,bahkan lebih dari itu. Hal tersebut di yakini akan memper pendek daftar nomor register perkara pada pengadilan negeri yang pokok perkaranya menyangkut sengketa atas tanah,


Bukti Kepemilikan Atas Tanah

Kurang atau minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu penyebab dari minimnya proses pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang menjadi penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan sertipikat maka mereka harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang mereka miliki, akan tetapi pada kenyataannya tanah-tanah yang dimiliki masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan tanah yang mereka miliki sangat minim bahkan ada yang tidak memiliki sama sekali. Mereka menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si A atau si B tanpa perlu mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut.

Untuk tanah yang memiliki surat minim itu biasanya berupa leter C. Letter C ini diperoleh dari kantor desa dimana tanah itu berada, letter C ini merupakan tanda bukti berupa catatan yang berada di Kantor Desa atau Kelurahan. Dalam masyarakat masih banyak yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan buku letter C, karena didalam literatur ataupun perundang-undangan mengenai pertanahan sangat jarang dibahas atau dikemukakan. Mengenai buku letter C ini sebenarnya hanya dijadikan dasar sebagai catatan penarikan pajak, dan keterangan mengenai tanah yang ada dalam buku letter C itu sangatlah tidak lengkap dan cara pencatatannya tidak secara teliti sehingga akan banyak terjadi permasalahan yang timbul dikemudian hari dikarenakan kurang lengkapnya data yang akurat dalam buku letter C tersebut. Adapun kutipan Letter C terdapat dikantor Kelurahan, sedangkan Induk dari Kutipan Letter C terdapat di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dan masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah memiliki alat bukti berupa girik sebagai alat bukti pembayaran pajak atas tanah.

Dan saat ini dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat
Letter C

khususnya hak milik Adat.

Pasal 19 UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, dikarenakan masih minimnya pengetahuan, kesadaran masyarakat tentang bukti kepemilikan tanah. Mereka mengganggap tanah milik adat dengan kepemilikan berupa girik, dan Kutipan Letter C yang berada di Kelurahan atau Desa merupakan bukti kepemilikan yang sah. Juga masih terjadinya peralihan hak seperti jual beli, hibah, kewarisan ataupun akta-akta yang belum didaftarkan sudah terjadi peralihan hak yang dasar perolehannya dari girik dan masih terjadinya mutasi girik yang didasarkan oleh akta-akta, tanpa didaftarkan di Kantor Pertanahan. Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak, tanggal 27 Maret 1993, Nomor : SE-15/PJ.G/1993, tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB II). Saat ini dibeberapa wilayah  Jakarta pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sudah ditiadakannya mutasi girik, hal ini disebabkan karena banyaknya timbul permasalahan yang ada di masyarakat karena dengan bukti kepemilikan berupa girik menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan atau ketidakpastian mengenai obyek tanahnya. Maka peran serta buku kutipan letter C sangat dominan untuk menjadi acuan atau dasar alat bukti yang dianggap masyarakat sebagai alat bukti kepemilikan tanah.

Sebagai contoh, dalam hal seorang warga yang akan mengurus sertipikat, padahal tanahnya pada saat ini baru berupa girik, maka yang dilakukan Kepala Desa atau Kelurahan adalah dengan berpedoman pada keadaan fisik tanah, penguasaan, bukti pembayaran pajak. Seorang Kepala Desa atau Kelurahan akan mencocokkan girik tersebut pada Kutipan Letter C pada Kelurahan. Sedangkan pengajuan hak atas tanah untuk yang pertama kali adalah harus ada Riwayat Tanah (yang dikutip dari letter C) serta Surat Keterangan Tidak Dalam Sengketa yang diketahui oleh Kepala Desa atau Kelurahan. Dengan dipenuhinya dokumen alat bukti tersebut seorang warga dapat mengajukan permohonan atas kepemilikan tanah tersebut untuk memperoleh hak atas tanah pada Badan Pertanahan yang disebut Sertipikat.

Pembahasan mengenai pengakuan hak milik atas tanah disertai dengan penerbitan sertipikat tanah sangatlah penting, setidak-tidaknya karena :

Sertipikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Karena penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah. Dan kepemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh siapapun.Dengan kepemilikan sertipikat hak atas tanah, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, sertipikat tanah memiliki nilai ekonomis seperti disewakan, jaminan hutang, atau sebagai saham.Pemberian sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah pemilikan tanah dengan luas berlebihan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Pengakuan hak milik atas tanah yang dituangkan kedalam bentuk sertipikat  merupakan tanda bukti hak atas tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UUPA dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah. Sertipikat tanah membuktikan bahwa pemegang hak mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu. Sertipikat tanah merupakan salinan buku tanah dan didalamnya terdapat gambar situasi dan surat ukur serta memuat data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Data fisik mencakup keterangan mengenai letak, batas, dan luas tanah. Data yuridis mencakup keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Data fisik dan data yuridis dalam Buku Tanah diuraikan dalam bentuk daftar, sedangkan data fisik dalam surat ukur disajikan dalam peta dan uraian. Untuk sertipikat tanah yang belum dilengkapi dengan surat ukur disebut sertipikat sementara. Fungsi gambar situasi pada sertipikat sementara terbatas pada penunjukan objek hak yang didaftar, bukan bukti data fisik. Sedangkan buku Letter C sebagai satu poin penting dalam persyaratan pengurusan sertipikat jika yang dimiliki sebagai bukti awal kepemilikan hak atas tanah itu hanya berupa girik, ketitir, atau petuk.


Kata advokat itu sendiri berasal dari bahasa latin advocare, yang berarti to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant. Sedangkan dalam bahasa Inggris Advocate, berarti to speak in favor of or defend by argument, to support, indicate or recommend publicly.



Sebelum UU No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, maka selain istilah advokat sering digunakan dengan istilah Penasehat Hukum sebagaimana diatur didalam KUHAP.
Sebagai contoh dapat dilihat didalam pasal  55 KUHAP, “Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya”. Atau pasal 56 ayat (1) KUHAP “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.”.



Sedangkan didalam pasal 56 ayat (2) KUHAP “Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Atau pasal 57 KUHAP “Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.



Sebelum UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, definisi Penasehat Hukum dengan advokat sangat berbeda. Penasehat hukum diangkat oleh Ketua Pengadilan Tinggi. Sedangkan advokat diangkat berdasarkan usulan dari Ketua Mahkamah Agung dan diangkat berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman.



Dalam praktek, wilayah kerja Penasehat Hukum hanya berwenang di wilayah hukum Pengadilan tinggi dalam suatu propinsi. Apabila seorang penasehat hukum ingin berpraktek diluar wilayah hukum Pengadilan tinggi suatu propinsi, maka harus mengajukan permohonan praktek yang ditujukan kepada pengadilan tinggi suatu daerah yang akan dimasukinya. Pengurusan izin dari pengadilan Tinggi suatu propinsi yang akan dimasuki merupakan syarat utama sebelum bersidang.



Sedangkan Advokat berwenang berpraktek di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia.



Sebelum seorang penasehat hukum menjadi seorang advokat, harus memenuhi persyaratan tertentu. Misalnya sudah berperkara, 6 perkara pidana dan 3 perkara perdata. Belum persyaratan lainnya.



Pengajuan diri penasehat hukum ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung yang kemudian Mahkamah Agung mengirimkan surat kepada Menteri Kehakiman apabila sudah memenuhi persyaratan. Menteri Kehakiman kemudian menerbitkan kartu advokat yang menyatakan sah menjadi advokat.  Oleh karena itu, sangat sedikit penasehat hukum yang menjadi advokat.



Setelah lahirnya UU No. 18 Tahun  2003, istilah penasehat hukum kemudian diseragamkan menjadi advokat.



Namun persyaratan menjadi advokat tidaklah mudah. Selain berlatar belakang ilmu hukum, mengikuti pendidikan khusus Profesi Advokat, lulus ujian, mengikuti magang selama 2 tahun barulah dilantik oleh Ketua Pengadilan Tinggi.



Begitu pentingnya advokat didalam mendampingi kepentingan hukum para pencari keadilan (justikelen), maka advokat berperan untuk menemukan hukum dan memperjuangkan kepentingan hukum pencari keadilan.